Ketua dan Sekretaris DPC PPP Kabupaten Sukabumi

Ketua dan Sekretaris DPC PPP Kabupaten Sukabumi
Dasep Surahman,S.Ag dan M. Almanfaluthi Hakiem, SH

Istiqomah Dijalan Konstitusi

Istiqomah Dijalan Konstitusi
Ketua dan Sekretaris DPC PPP Kabupaten Sukabumi Bersama Ketua Umum PPP H. Djan Faridz

Minggu, 10 April 2011

MEWUJUDKAN KESADARAN & LOYALITAS KEBANGSAAN: 
USAHA MEMBANGUN INDONESIA BERMARTABAT
Oleh Drs.H.Yusuf Ridwan
(KETUA DPC PPP KAB. SUKABUMI)
Diklat Wawasan Kebangsaan di Aula Kec.warungkiara Kab.Sukabumi pada tanggal 10 April 2011


A. Konsep Kebangsaan Dalam Islam
            Sejarah mencatat bahwa konsep “Bangsa” mulai muncul pada kehidupan modern ini, setelah terjadinya revolusi Prancis pada tahun 1789 M. Bangsa atau nation diartikan sebagai kesatuan orang-orang yang mempunyai kesamaan sejarah, kesamaan cita-cita dan perjuangan, kesamaan wilayah tempat tinggal dan pemerintahan, meskipun kemungkinan diantaranya ada perbedaan dalam asal usul keturunan(ras), keyakinan(agama) maupun bahasa. Contoh kongkritna Indonesia yang dalam kebangsaannya terdiri dari berbagai suku, beberapa bahasa daerah, beberapa budaya dan tradisi lokal serta beberapa agama dan aliran kepercayaan, tetapi mereka semua menyatakan diri sebagai “Bangsa Indonesia” yang satu kesatuan (Bhineka Tunggal Ika).
            Dalam referensi ke-Islaman, terutama yang berbahasa Arab, kata “bangsa” biasanya disebut dengan “Qaum” dan kebangsaan disebut dengan “Qaumiyah”, tetapi setelah pengertian bangsa itu dikaitkan dengan wilayah tempat tinggal yang memiliki batas-batas tertentu seperti yang berlaku pada Negara Bangsa (Nation State), maka istilah kebangsaan berubah lebih populer dengan sebutan “Wathoniyah” daripada “Qaumiyah”. Ada beberapa kata yang memiliki makna dekat dengan kebangsaan tersebut seperti “Sya’biyah” (peoples), dan “Ummah”.
            Sejarah Islam mencatat bahwa bagian awal literarur politik yang diwarisi dari zaman Nabi Muhammmad SAW adalah “As-Shahifah” yakni dokumen yang dikenal dengan Piagam Madinah, disaat Rasulullah tinggal di Madinah setelah hijrah dari Mekkah terjadi sekitar tahun 622 M.
            Piagam Madinah itu menyebutkan bahwa kaum mukmin membentuk suatu umat yang menyertakan kaum Yahudi Madinah. Meskipun terdiri atas suku-suku, tetapi masing-masing harus bertanggung jawab atas prilaku anggotanya. Umat sebagai satu kesatuan bertindak secara kolektif dalam menegakkan tatanan sosial dan keamanan, serta dalam melawan musuh saat perang dan damai. Perlu kiranya disini dikutip beberapa bagian teks dari Piagam Madinah tersebut yang dinukil dari beberapa sejarawan Islam klasik semisal Ibnu Hisyam, Ibnu Katsir masing-masing dalam kitabnya As-Sirah an-Nabawiyah sampai ke sejarawan masa kini seperti Dr.A.Basith Badar dalam At-Tarikh as-Syamil al-Madinah al-Munawwaroh, diantaranya sebagai berikut :
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi berkewajiban menyediakan biaya bersama-sama orang Mukmin selama mereka berperang bersama, dan sesungguhnya bagi orang-orang Yahudi Bani ‘Auf menjadi satu umat dengan orang-orang Islam. Orang-orang Yahudi menjalankan agamanya sebagaimana orang-orang Islam menjalankan agamanya masing-masing, termasuk keluarga dan dirinya sendiri, kecuali orang-orang yang berbuat dzalim dan kejahatan, resikonya akan ditanggung sendiri. Bagi orang-orang Yahudi Bani Najjar, Bani Harits, Bani Sa’idah, Bani Jusyam, Bani ‘Aus, Bani Tsa’labah, Jafnah dan Bani Syutaibah berlaku ketetapan sebagaimana Yahudi Bani ‘Auf dimuka. Bagi komunitas Yahudi dikenakan biaya untuk mereka sebagaimana dikenakan terhadap orang-orang Islam, dan mereka memperoleh jaminan pertolongan menghadapi orang/pihak yang memerangi para pendukung Piagam ini. Mereka memperoleh pembelaan terhadap siapapun yang mengancam keamanan kota Madinah. Mereka aman untuk keluar masuk Madinah selama tidak berbuat kedzaliman dan kejahatan...”.
 
            Kembali ke masalah kebangsaan. Kebangsaan dalam Islam dikenal dengan konsep Umat, atau belakangan diperkenalkan oleh para pemikir Muslim seperti At-Thathowi dan Abdurrahman al-Kawakibi pada awal abad ke-20 dengan istilah Al-Wathoniyah, yang memiliki arti sekumpulan orang-orang yang oleh karena berada di wilayah geografis tertentu dan memiliki kesamaan, kemudian mengikatkan diri dalam satu sistem dan tatanan kehidupan (kehidupan bernegara dan berbangsa). Meskipun demikian, konsep ke-umatan ini tidak menghalangi kehidupan yang pluralis (majemuk) antara komunitas Islam dengan komunitas lainnya dalam wilayah satu negara selama ini, baik pada zaman Nabi Muhammad SAW seperti yang telah dipaparkan secara singkat di muka, juga pada zaman Khulafa’urrasyidin maupun pada zaman dinasti-dinasti berikutnya. Kemudian masalah ke-umatan atau al-Wathoniyah (nasionalisme atau kebangsaan) secara politik praktis, baru muncul setelah kekuasaan Kesultanan Usmaniyah (Turki Utsmani) dibubarkan oleh Kemal Ataturk di Turki dan akhirnya terbentuklah  Negara Bangsa (Nation State) yang pertama  dalam masyarakat Islam, yaitu di Turki pada tahun 1924 M.

B. Kilas Balik Sejarah Bangsa Indonesia
            Perlu kiranya kita membuat refleksi pengalaman sejarah bangsa Indonesia  yang majemuk ini, agar memudahkan memberikan gambaran tentang proses kesadaran  berbangsa dan bernegara bagi rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim sehingga terwujud kesadaran dan loyalitas kebangsaan. Antara lain :
  1. Bangsa Indonesia adalah bangsa dengan jumlahnya yang besar yang mendiami gugusan kepulauan yang besar dan luas, dengan posisi geografis yang sangat strategis (terletak diantara dua benua Asia dan Australia, dan dua samudra Hindia dan Pasifik), dengan kekayaan alam dan kesuburan tanahnya, menjadikan banyak orang dan bahkan bangsa-bangsa lain tertarik dan mengincar untuk dapat menikmati bahkan dapat menguasai negeri ini;
  2. Kedatangan agama Islam di Indonesia (meskipun terjadi perbedaan pendapat tetang asal mula kedatangannya, apakah langsung dari Arab atau dari Gujarat India dan pada tahun berapa), tetapi yang pasti bahwa Islam masuk ke Indonesia itu secara damai, dan dalam keadaan tidak hampa budaya, disini sudah berkembang agama-agama dunia lain seperti Hindu dan Budha, penduduknya sudah terbentuk sebagai masyarakat majemuk (plural), ada Jawa, Sumatera, Borneo, Sulawesi, Ambon, Bali dan lain-lainnya, dan diantara mereka sudah terjadi interaksi sosial dalam waktu yang lama, baik dalam ekonomi, kekuasaan maupun budaya.
  3. Sejak awal abad ke-16 M, bangsa-bangsa Eropa seperti Portugis, Spanyol, Belanda dan Inggris telah tergiur oleh perdagangan rempah-rempah dan kekayaan alam yang melimpah di Indonesia . Pada awal kedatangannya mereka lebih bermaksud untuk mengeruk keuntungan ekonomi semata, namun dalam perkembangannya mereka mengubah niat dari hanya sekedar  berdagang menjadi menjajah termasuk didalamnya menyebarkan agama kristen. Dari kenyataan ini, bangsa Indonesia menemukan kesadarannya untuk melawan penjajahan dengan membangkitkan gerakan-gerakan rakyat melawan dan mengusir penjajah dari bumi pertiwi;
  4. Hingga akhir abad ke-19 M, perlawanan terhadap penjajah Belanda terus berkobar dimana-mana, tetapi belum menampakan hasil yang dicita-citakan yaitu kemerdekaan. Persenjataan yang tidak seimbang antara penjajah dengan pihak pejuang, termasuk politik pecah belah (devide et impera) yang diterapkan olehg penjajah memperpanjang kegagalan dan jatuhnya pahlawan-pahlawan bangsa.
  5. Memasuki abad ke-20 M, para pemimpin Indonesia telah mampu mengambil pelajaran dari pengalaman sejarah, bahwa perjuangan melawan penjajah tidak hanya cukup dengan perlawanan bersenjata dan semangat kepahlawanan saja, tetapi juga diperlukan kesatuan tekad dan kesamaan pandangan melalui wacana kebangsaan atau keindonesiaan yang membutuhkan kesadaran tinggi untuk mengedepankan  kepentingan bersama daripada kepentingan kelompokmaupun golongan atau daerah. Lahirnya organisasi-organisasi modern yang berwawasan nasional seperti Budi Utomo pada 20 Mei 1908, Sarikat Dagang Islam pada tahun 1909, Muhammadiyah pada tahun 1912, Nahdhatul Ulama pada tahun 1926, Al-Ittihad Al-Islamiyah(AII) pada tahun 1931 yang kemudian diubah namanyanya menjadi PUII dan akhirnya PUI dan yang lainnya. Kemudian pada tanggal 28 Oktober 1928 kesadaran nasional itu dipertegas dengan “Sumpah Pemuda” yang mengikrarkan tentang tanah tumpah darah yang satu, tanah indonesia; menjungjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
  6. Pada saat perang Asia Timur, Jepang dapat mengusir Belanda dari bumi Indonesia dan dimulailah masa pendudukan Jepang di Indonesia (tahun 1942-1945), tokoh-tokoh dan pimpinan organisasi Islami di Indonesia banyak yang duduk di keanggotaan Chau Sang-In, sebagai Badan Legislatif buatan Jepang, membentuk laskar Sabilillah dan Hizbullah untuk menjaga keamanan dan perthanan tanah air dari ancaman musuh, kemudian masuk sebagai PETA (Pembela Tanah Air) yang dipersiapkan oleh jepang sebagai pasukan cadangan yang akan dikirim ke Burma atau kepulauan pasifik menghadapi Belanda.
  7. Pada tanggal 7 September 1944 perdana Menteri Jepang Kunaika Kaiso atas anam pemerintah Jepang mengumumkan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Statemen tersebut ditanggapi serius oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia, mereka bahu membahu mendesak kepada penguasa pendudukan Jepang di Indonesia untuk membuat persiapan-persiapan. Akhirnya pada tanggal 29 April 1945, dibentuk “Dokoritsu Zyombi Tyoosakai” atau BUPPKI (Badan Usaha Penyelidik Persiapan Kemerdekan Indonesia) yang beranggotakan 62 orang untuk merumuskan dasar dan falsafah negara. Kemudian pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir Soekarno dan Muhammad Hatta atas nama bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bersatu atas berkat rahmat Allah SWT.



C. Universalitas Islam Sebagai Landasan Pembentukan Wawasan Kebangsaan
            Wawasan kebangsaan harus selalu ditanamkan bagi kita sebagai umat Islam dengan dasar-dasar sebagai berikut:
  1. Sebagai umat Islam, kita meyakini bahwa Islam adalah ajaran yang bersifat universal dan merupakan amanat Allah yang dapat dilaksanakan bagi seluruh kehidupan manusia di wilayah manapun di muka bumi ini;
  2. Universalitas Islam merupakan kekuatan bagi umat Islam untuk membangun manusia dan masyarakat dimana saja di muka bumi ini, dalam corak perbedaan kondisi dan budaya masing-masing bangsa. Universalitas Islam mungkin saja memunculkan penampilan yang berbeda dalam pelaksanaan dan penerapan ajaran Islam sejalan dengan keberadaan dan adanya perbedaan adat dan ahwal ijtima’iyah.
  3. Kerangka pemikiran tersebut membuka sikap lapang dada dan toleransi dalam menyikapi berbagai kenyataan sosial bangsa Indonesia, yang berupa norma-norma kemasyarakatan, adat istiadat, kesadaran hukum dan sikap khas kemajemukan bangsa Indonesia. Pengemasan budaya lokal dengan muatan ajaran Islam dan pembudayaan pentradisian ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat sungguh menjadi sangat strategis dan besar andilnya dalam membangun dan membimbing masyarakat Indonesia.
  4. Untuk itu, upaya menumbuhkembangkan pemahaman yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan memelihara tradisi keagamaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia merupakan langkah dan sekaligus sarana yang strategis dalam mempertemukan keyakinan keagamaan dan wawasan kebangsaan.

           
D. Peranan dan Tanggung Jawab Umat Islam Mewujudkan Kesadaran dan Loyalitas Kebangsaan

            Sejarah telah mencatat bahwa Islam dan umat Islam di Indonesia, telah memberikan peran aktifnya berupa amal-amal nyata, membentuk manusia yang beriman, berakhlak karimah, cerdas dan terampil, membangun kehidupan keluarga dan masyarakat secara baik. Lebih dari itu bahkan menolak dan melawan penjajah, kemudian mempersatukan manusia dan komunitas dalam satu keluarga besar menjadi satu bangsa, dan pada akhirnya memproklamirkan kemerdekaan bangsa dan negara hingga kemudian mempertahankan serta mengisi kemerdekaan hingga dewasa ini.
            Peranan aktif tersebut harus terus dilakukan oleh kita sebagai umat Islam di Indonesia dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab yang didasari semangat:
1.          Mengemban tugas kekhalifahan, sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah:                                                         
        Artinya : “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat; ‘Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi ini’”.
       

2.     Menegakan keadilan sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an Surat Al-Maa-idah : 8 :

Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang         yang selalu menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.        Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu     untuk berlaku tidak adil. Berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat kepada    taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui          apa yang kamu kerjakan”.

3.          Memakmurkan bumi Allah sebagaimana firmannya dalam Al-Qur’an surat Hud:61:
                                                                 
Artinya : “Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, karena itu mohonlah mapunan-Nya, kemudian bertobat kepada-Nya”.

4.          Melaksanakan kewajiban dakwah dalam rangka amar ma’ruf nahi munkar, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Nahl:125:
                                                                 
Artinya : “Serulah manusia kepada jalan agama Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.

Firman Allah dalam surat Ali-Imran:110:

                                  
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”.                                                                               





Tidak ada komentar:

Posting Komentar